Senin, 07 September 2009

Sepasang Roh

Sukma

Kebetulan, seusai seorang lelaki tergopoh-gopoh datang ke rumahku sepagi tadi, selepas subuh bahkan belum pun subuh, ada kabar baru yang biasa aku dengar.

“Wak Diyah meninggal, Pak. Tadi malam jam tengah dua belas.” “Oh, ya. Nanti saya siapkan semuanya. Nisannya juga ?” ‘Tak usah, biar anak remaja mesjid saja yang urus.” Lelaki itu segera berlalu.

Tidak ada yang tahu sejak kapan aku mulai suka menanam jenazah. Yang jelas, ketika Abah Syamsul tengah di panggil Tuhan, tiada pula yang setuju diangkat mengganti jabatannya, penggali kubur.

Aku juga tidak sepakat ketika orang-orang menunjukku akan hal itu. Kebetulan ini mufakat para tetua-tetua kampung. Tak enak hati sekiranya membantah, meski halus.

“Kau tu kemanakan almarhum, tak hendak ada yang layak mengganti almarhum selain kau.” “Aku belum semahir abah, Datuk!” “Setidaknya kau paham dasarnya. Mengenai mahir, itu cuma soal kebiasaan.” Sejak itu aku mulai memanggul jabatan pengganti Abah Syamsul. Tidak ada upacara pengangkatan, tidak pula ada semacam wiritan sekedar mengingat bahwa aku sudah dibaiat.

Sejak itu, kemudian aku dikenal orang-orang sebagai penanam jenazah. Sukar diterima akal, sedikit pun saudara-saudara mencoba mengakali hatiku untuk tidak lagi bekerja seperti itu. Tetap saja aku lekas menepis. Meski sebelum tidur, di saat lengang mulai datang rayuan itu mulai pula menggodaku.

Sekiranya itu benar, maka apa kata tetua-tetua kalau aku mangkir. Lagian sejenak kurenung-renung, tidak ada pula pengganti abah kalau aku tidak menanam jenazah lagi.

“Jangan usik kata orang-orang. Mereka memang bisa berkata begitu. Mereka tu cuma bisa becakap. Nanti kalau mereka mati, tetap kau juga diincar-incar, Mul.”

Itu ucap Datuk Parka. Tidak sekali aku datang ke rumah para Datuk sekedar mengejar nasehat. Sekedar mencari bekal, agar aku makin tegak memacul tanah, mengukir liang dan jenazah itu akan betah tinggal di dalamnya.

Apalagi simpang siur soal kabar tak sedap kian berseliweran. Aku dianggap orang yang sama sekali tidak punya kendali untuk mantap mengubur jenazah. Belum pun usai soal gelisahku mengapa tidak mencari kerjaan lain selain itu. Kini bertambah pula ujian baru.

“Tak sah si Mul menanam jenazah sodara-sodara kita. Tak kalian pikir, mana hapal dia ayat Qur'an ? Entah pun, tidaknya pula pandai dia mengaji,” kata yang satu ini.

“Iya, juga. Kutengok tak pernah dia kumpul-kumpul di surau.” Yang satu lagi tambah becakap. “Usah sibuk kali kalian. Yang penting Datuk Parka sudah tunjuk dia melakukan tugas tu.” Malah yang ini membela pula. Nyaris aku gamang.

Sejak semula ini menjadi petaka dalam diriku. Ini pula sebab, kenapa aku berat memikul tugas pengganti Abah Syamsul. Memang menyakitkan bagiku kala gunjingan itu datang menjelma. Selain aku, Mak Nar, istriku sendiri bahkan tidak lagi berani ikut wirit ibu-ibu. Tidak bernyali, hatinya mendengar umpatan ibu-ibu di perwiritan soal kerjaku.

“Awak bingung dengan cakap orang-orang, Bang ! Semua cerita soal Abang terus. Sakit kuping mendengarnya,” kata istriku malam ini.
“Kenapa kau dengar cakap orang tu?”

“Tak awak dengar, terdengar di kuping awak. Macamlah pokoknya !”
Dia makin menggerutu. Aku hanya diam. Sesekali aku menatap foto Abah yang tergantung di ruang tengah.
“Jadi, cemmana bagusnya menurutmu?”
“Awak pun bingung, kalau tidak itu apa pulak kerja Abang. Tidak ada kan?”

“Lagian bukan itu saja, Mak. Aku ingat betul pesan Datuk. Nanti tidak ada yang sanggup menggantikan Abang.”
“Itu soal lain, Bang. Apa pernah Abang ucap dengan Datuk soal ini?”
”Sudah .”
“ Lalu ?”

“Datuk hanya bilang agar abang tetap saja seperti sekarang. Tidak bertukar kerja.” Istriku menghela napas berat. Sambil melipat pakaian yang sudah diangkatnya dari jemuran sore tadi. Dia tidak lagi pernah menyambung cerita soal kerjaku sekarang. Pun sekarang dia mulai memasang sikap kosong ketika orang-orang bicara soal kerjaku.

Berselang itu, aku dan Mak Nar tidak lagi ambil pusing. Semua berjalan dengan sendirinya. Termasuk orang-orang yang tidak henti menggunjingkan kami, hingga taulah aku.

Marji, kepala desa yang juga baru dikenal sebagai imam solat di surau itu sebab asal gunjingan tentangku menggema. Marji diam-diam tidak sepakat Datuk menerimaku sebagai pengganti Abah.

Pasalnya, aku dan Abah berjarak sangat jauh. Soal usia, soal pengalaman apa lagi soal alim tidaknya. Memang, jujur saja kuakui, aku tidak setipe dengan Abah. Nyaris tertinggal jauh. Abah sendiri diangkat menjadi penggali jenazah, bukan sekedar urusan dia petani atau tidak. Justru Abah dikenal santun dan beragama. Hanya satu, aku dan Abah memang masih kuasa terhadap adat. Lanjutnya, cerita punya cerita, Marji ada urusan lain selain gunjingan yang ditanamnya pada orang-orang kampung. Entahlah!

Mungkin saja ada sebab tentang Mak Nar. Urusan cinta memang tidak bisa dilirik sebelah mata. Mak Nar sempat dicinta oleh Marji semasa muda dulu, tapi itu dulu. Aku sempat bingung juga, ketika Mak Nar menerima pinanganku gara-gara aku dekat dengan Abah.

Mungkin benar kata tetua-tetua. Gadis-gadis baik akan memilih pria yang dekat dengan para saudara para Datuk, juga keluarga Abah. Sebutan Abah dan Datuk hanya persoalan nama yang diistimewakan. Bukan tentang derajat, namun lebih dari kesiapan adat.

Orang-orang tua di kampung menganggap keluarga para Datuk dan Abah, lebih dekat kepada Tuhan. Tidak tau aku, benar apa tidak. Yang pasti, aku sendiri termasuk yang dekat dengan Abah, tapi tidak terlalu dekat dengan Tuhan. Hanya biasa-biasa saja!

“Minimal keluarga Datuk tu tak pernah bicara soal yang jahat-jahat. Pastilah, kelak kau akan ajarkan yang baik pula pada anak-anakmu,” Hanya itu selintas pesan yang pernah kudengar dari istri Abah. Meski tak semua keluarga Datuk dan keluarga Abah baik pula. Sepintas mungkin benar. Setidaknya keluarga baik, pasti akan ganjil melakukan tabiat buruk.

Lagi-lagi persoalan lama, Marji menebar isu itu. Tak siap dengan penolakan Mak Nar, hingga kini. Dia pula tak bisa diam. Mungkin sebab itu, dia pasang raut dosa di wajahku agar kelak orang sekampung menudingku yang tidak-tidak. Diharap pula Mak Nar minta cerai dan mau beralih cinta padanya.
Oh, Abah ! Nian hebat ujian ini.

Aku masih mematung di depan foto Abah. Bertanya-tanya soal apakah Abah pernah merasa dihujat seperti ini. Meski hanya seorang penggali kubur, begitu besar petaka menimpa. Padahal upah tak seberapa, menahankan deritanya sungguh luar biasa.

Esoknya, aku menggigil bukan main. Tubuhku ibarat es batu. Membeku. Tidak ada yang bisa digerakkan kecuali napas dan mataku. Mak Nar panik seketika. Diambilnya air hangat bercampur handuk, kemudian di letak pula pada keningku. Ou, itu juga tidak berhasil mereda kebekuan tubuhku. Padahal tadi pagi, kumandang di surau terdengar pula ada jenazah baru.

Aku ingin bangkit. Mak Nar melarang. Bukan karena tidak bisa melainkan aku tak kuasa. Kabar meninggalnya seseorang itu, pasti banyak mengusung para pelayat datang.

Suara pintu diketuk. Seorang lelaki tergopoh-gopoh datang ke rumahku. Dia mengajak Mak Nar bercerita. Tentu menyapaku untuk lekas bersiap-siap, soalnya kalau begini orang-orang akan sibuk mendatangiku.

Mak Nar duduk di sebelahku. Wajahnya lesu seperti tidak berdarah. Matanya lambat bak siput membeban cangkang. Aku bertanya soal siapa yang meninggal, Mak Nar menjawab. Nadanya lirih seperti tempo hari, dia menolak pinangan Marji. Hambar.
Begitu kosong.
Oh,Tuhan ! Dadaku sesak mendengar jawaban Mak Nar. Aku teringat Abah, teringat Datuk juga teringat Marji.
Ah !

Medan, 13 Nopember 2008
(Dimuat di Analisa edisi Minggu, 06 September 2009)

Jumat, 04 September 2009

Istighfar

Sukma

zikir adalah tangis sepasang bayi kembar
di tengah malam yang lembut
tanpa ibu
tanpa air susu
melukai keheningan tak berdarah
namun menusuk hingga ke dasar doa

kepunyaan semesta
sepanjang jalur asma-Mu
rinai hujan, kelopak batu permata, julur ombak
reranting patah, daun yang menggigil
dengus napas petani yang pontang-panting
adalah gemuruh zikir satu-persatu

zikir adalah pendar cahaya lampu teplok
yang dipakai seorang bocah
sambil mengais kata-kata
di angka matematika
atau denyut nilai sejarah yang sempoyongan

maka, bait-bait surga
seumpama kumpulan kaleng bekas
berisi takbir berwarna rukuk
pada lantai mesjid atau sajadah-sajadah lusuh

sehingga tangis sepasang bayi kembar
malam itu
bukan lagi tanpa ibu
melainkan Tuhanku
lebur dalam zikirku


Medan, 27 Agustus 2009

sekumpulan camar terbang rendah

sukma

antara asin air laut dan angin yang berarak
kutemukan sekumpulan camar terbang rendah membelah riak ombak
berbasah pasir yang rapuh diterjang waktu
namun masih ada senja yang bisa kubelah
kuukir namamu di sana
meski tidak tau apakah senja itu sudah terlalu lama untukmu

tapi yang pasti,
pada sekumpulan camar yang terbang rendah
teringat aku pada gelombang anak rambutmu
yang dibelai-belai
padahal waktu itu, kita hanya sesekali melepas pandang
tak lama setelahnya kau larut ditelan riuh ombak
dan kini, hal itu sedari tadi kutunggu
menjala senyummu
lalu kubalas dengan sebungkus senja
yang telah kuiris-iris untuk lekas kau bawa pulang
setelahnya, malam nanti tidurmu tidak akan pernah nyenyak
sebab irisan senja itu akan setia melimbungkan namaku
tepat setelah sekumpulan camar itu
terbang rendah pada laut hatimu

pantai perjuangan, juni 2009

Puing-puing Azan

Oleh : Sukma

telah pecah puing-puing azan
berserakan di lantai masjid yang agung
namun kolong-kolong shaf
masih juga sepi

Medan, Juni 2009

Kamis, 09 Juli 2009

Nyali Berpuisi diuji Lagi

Sukma

Bermain-main dengan kata umpama menikmati kolak dingin yang menggigil. Beku. Apalagi disantap kala musim panas tiba juga saat haus meradang. Bukan, bukan itu. Tapi yang pas ibarat makan kurma ketika buka puasa. Ya...juga kurang tepat! Yang cocok mungkin santapan siang saat lapar-laparnya ditraktir teman kerja. Yah, itu lebih mungkin.

Namun menurut saya, mengais kata-kata yang biasa kemudian mengubahnya menjadi rangkain cerita atau embel-embel tulisan yang apik (kalau salah seorang teman saya bilang, kata yang dibuang sayang, diberi ke orang lain juga takut) maka ini yang saya sebut sebagai sebuah kenikmatan.

Apapun namanya justru itu tidak penting dipusingkan menurut saya. Karena bisa jadi sesuatu yang saya anggap nikmat pastilah tak sama nikmat dengan kenikmatan yang dirasakan oranglain, begitupun sebaliknya. Kolak dingin, kurma, dan ditraktir makan siang di kala lapar adalah sebagi bonus yang dapat kita dirasakan. Itulah perumpamaan yang bisa saya ungkap seputar keasyikan merangkai kata-kata yang berserakan tepat di laci pikiran kita.

Maka, inilah kata-kata itu. Yang minggu lalu dalam kelas menulis fiksi FLP Sumut disajikan dalam menu, yang sebenarnya, tidak jauh beda lantas didesain sedikit dengan kemasan yang tidak mengurangi cita rasanya. Kata-kata itu ialah riak, buih, baju, kristal, peri, luka, gemerlap, rumah, cumbu dan darah.

Adegan Uji Nyali
Tentulah siapa saja sepakat bahwa sepuluh kata tersebut bukan kata-kata istimewa. Justru kita teramat sering mendengarnya dalam hidup keseharian ini. Kata-kata itu dibagi ke tiap orang satu persatu. Kemudian dirangkai menjadi sebuah sajak yang lepas, lewat kata-kata yang sepuluh itu diputar untuk melewati setiap anggota dan menjadilah kata-kata tersebut digubah sesuai keinginan.

Tantangan !
Saya suka dengan ucapan itu. Melewati tantangan kadang membuat saya begitu ambisi. Maka pusing, bingung, panik kalau-kalau kata tersebut entah jadi apa nantinya. Namun saya tetap yakin, teman-teman yang lain juga tetap yakin tentang mau jadi apa tulisan itu, berwujud apa dia, entah pun tidak berkelamin, maka sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh saya dan teman-teman.

Untuk sebuah proses kreatif, tidak penting hasil yang berwujud. Jauh lebih kepada keberanian mengobok-ngobok, mendesain, menata, bahkan menghias kata-kata mentah yang dilempar menjadi semacam hiasan dinding untuk di tempel ke hati khalayak pembaca.

Karya-karya Mutakhir
Dan terkaan tentang itu semua menurut saya sama sekali keliru. Termasuk pada diri saya sendiri. Kebebasan berekspresi yang dilepaskan dalam anak-anak kata yang menjadi bagian terkhusyuk saat games ini dimainkan.

Ada racikan kata yang mutakhir dalam kesempatan tersebut. Racikan itu memberikan aroma yang mengulik hidung saya untuk mendengus dan memberikan rasa lapar di lambung benak saya.

Hmm, coba lihat saja karya Nurul Zee dengan judulnya Padamu Jua. Kata-kata mutakhir yang sempat cek-cok saya rasakan diawali dengan lead yang memukau. Terlihat gemerlapmu di sudut malam/Lupakah kau pada rumah penuh kasih itu ? Ada riak-riak bahagia antara kita di sana/Aku tau tak mudah sembuhkan luka ...Meski lirih tapi itu cukup mengulik rasa.

Bejana Buih Tangis dalam Genggaman ialah potongan dari sajaknya Sitha Muriani juga memberi efek tanya yang tak henti. Bejana buih yang mana yang bisa menangis ?

Begitupun denyut-denyut kearifan tuhan muncul sepintas dalam sajak Eka Dyah yang berkecipak ilahiah di dalamnya. Karena Gemerlap Tasbih Jiwa-nya seolah memberi isyarat bahwa apa saja yang terasa dan terjadi adalah sekumpulan anak-anak resah untuk dimuarakan pada satu titik bernama mushaf putih. Yang mungkin kelak esok hari kita makin sering melupakannya. Kurang lebih begitu Eka Dyah menuturkan.

Hawa kedamaiaan, kerinduan pada ilalang sepi, kepasrahaan serta kasih sayang untuk pulang dan mengabdi begitu jelas diombang-ambing para penyair dalam sajak-sajak kreasi mereka. Seperti MN. Fadhli dalam sajaknya Di Gerbang Penantian. Penyair Selvi Rani, yang lebih berbisik kepada simbol-simbol benda hidup umpama nadi-nadii kehidupan yang bergerak lewat aktifitas manusia secara utuh.

Begitupun keresahan, rasa tidak berdaya, serta keharusan untuk mendermakan diri kepada titik dimana kita telah menghabiskan banyak masa, banyak waktu untuk sejatinya kembali kita hadirkan ke masa depan. Yaitu Annisa HD kerap bermain-main dengan pengharapan seperti itu. Aku masih ragu bercumbu dengan perasaan ini/Masih tak banyak baju yang kukenakan/Kusam/Mungkin harus mengkristalkan diri/Mengendapkan sampai satu purnama lagi.

Terbilang unik, juga tampak asing, ketika Chairani—seorang guru asal SMA Dharmawangsa—menjelmakan kata-kata itu menjadi sajak yang ranum bagi saya. Sajak yang tak cukup mewakili hasrat seorang guru yang tengah belajar mengukir kata. Inilah sajak yang terbit dari kemurnian rasa sebab kadang kala, sadar atau tidak, keingginan yang bergejolak itu sering kali menghilirkan denting-denting kelembutan pada apa saja yang kita sebut sebagai kepolosan. Tak ada lagi gelombang di laut mati/Walau angin menghembus pedih/Riak pun tak tampak lagi/Hanya darah yang berserak/Membenam di kegelapan.../

Kucicip luka kemarin.../, tentu menjadi lead yang menghentak dari sajak Silfa Humairah. Apalagi ketika Silfa tetap mengambil jalur penyair yang setia bergerilya pada lead dan ending-ending yang terkadang menjebak. Ditambah lagi ketika pertengahan sajak, Silfa berani mengatur irama tulisan lebih bergerak, Sudahlah../Bukannya hidup memang mencerna buih/Sesekali bercumbu masa lalu/Menapaki masa depan.../


Mantap ! Mencerna buih sebagai sebuah pemaknaan dalam menggapai hakikat kehidupan bagi kita. Bagi saya, ini patut kita pikirkan masak-masak.

Sementara Sayap-sayapnya bikinan Intan HS sudah mengajak kita untuk tidak tanggung-tanggung terbang mengangkasa tanpa jejak, tanpa batas. Entah berapa kali ia menukik/Atau kadang merosot terlalu jauh/Langkahku juga terasa di atas buih/Pada tanah yang terhentak sebelum mimpi habis/belum lagi selesai .

Sementara puisi saya yang terakhir berjudul Darahmu, Darahku malah memberikan keterkejutan ketika dibaca di depan rekan-rekan yang lain. Hmm, mungkin itulah puisi terpanjang hari itu. Dan begitupun, saya tetap menggangap bahwa kekuatan penulis kadangkala akan tampak dan muncul saat nyali kepenulisan itu kian ditantang.

Maka, untuk selanjutnya mari kita saling menantang. Supaya terasah nyali menulis kita. Selamat membaca !

Medan, 6 Juli 2009

Parade Puisi Kelas Fiksi 5 Juli

Padamu Malam
Nurul Zee

Terlihat gemerlapmu di sudut malam
Lupakah kau pada rumah penuh kasih itu ?
Ada riak-riak bahagia antara kita di sana
Aku tau tak mudah sembuhkan luka
yang masih berdarah
Bahkan kurasa buih-buih di lautan tobat menghilangkannya
Seperti bercumbu dengan malaikat maut
yang memakai baju compang-camping
butir-butir air mata yang mengkristal tak berarti lagi
Hanya menunggu peri bahagia
Memutar tongkat ajaibnya padamu
Maka sembuhlah luka itu.


Rumah CAHAYA-Sumut, 5 April 2009


Duka Peri
Sitha Muriani

Oh, peri yang ditagihi sejuta pinta
menghadirkan luka pada kepak sayapnya
gemerlap yang sembuh dari tongkat mini
derit pintu rumah ingin kuak misteri
dimana riak embun menghantui pagi
silet nadinya berpencar darah
bejana buih tangis dalam genggaman
ingin kucumbu, kecuo irismu
dimana nada baju penat coklat bau dusta
pada siapa denting kristal ini kukirim dan kubagi ?


Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009


Gemerlap Tasbih Jiwa

Eka Dyah

Bilik rumahku diamuk gelombang
Meriak dalam sujud panjang
Menghempas tarian-tarian darah di petangnya malam
dan buih-buih resah pun terlantun sudah
Bercumbu dengan keping-keping cinta dari sayap terindah
Berbaju sunyi tak kenal letih
Pelan mengkristal di mushaf putih
Penuh peri yang sibuk mengias terali asma-Nya
Hamparan luka pun terasa sempurna
Dalam gemerlap tasbih jiwa


Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009


Di Gerbang Penantian
MN. Fadhli

Kulempar pandang pada buih di jauh sana
yang tak lekang bercumbu pada samudera
Kurasakan bajuku pun seperti putihnya nyaliku saat ini
Sungguh, kini kristal angkuhku kian pecah

Di bibir pantai ini kurasakan dekapan peri maut yang kian lekat
Yang tersisa hanya luka
Ya, luka yang kerap kutoreh
Diuntaian gemerlapnya fatamorgana dunia
Oh,
Ingin rasanya kupulang ke rumah kedamaian
Yang sunyi dari riak kenistaan, riak tak bertuan
Sedetik lagi darahku kan beku
Lantai pecah bersama buih itu.


Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009


Tentang Kau
Selvi Rani

Kusaksikan waktu
Mengkristal di bahumu
Juga peri
Yang menari di titik-titik
Matamu,

Maka untukmu,
Luka cuma cerita
Tak perlu lah ia
Menyinggah telinga

Yang kutau,
Jari-jarimu kian lincah saja
Menata gemerlap
Lalu kau sandingkan di dinding-dinding rumah kita

Dan ketika angin
Mulai meriak
Kau bungkam ia dengan segala rupa
Sekalipun payah
Sekalipun berdarah
Hingga ia hanya mampu mengarak buih
Sudah itu menyerpih

Dan aku cuma bisa mencumbu bayangmu
Yang masih tersimpan dalam baju itu


Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009


Rangkaian Perjalanan Hati
Annisa HD

Aku masih ragu bercumbu dengan perasaan ini
Masih tak banyak baju yang kukenakan
Kusam
Mungkin harus mengkristalkan diri
Mengendapkan sampai satu purnama lagi
Tak harus beribu peri meyakinkan
Tak harus satu gores luka lagi yang harus
kudapati maknanya
Pun untuk menggemerlapkan bingkai di ruang-ruang kosong

Aku hanya akan singgah di rumah terakhir
Menunggu dan menunggu riak menepi
Mencari bagian-bagian yang akan ditempati

Hingga gumpalan hati yang mendarat dulu
Kembali menjadi asalnya buih.


Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009


Mimpi
Chairani

tak ada lagi gelombang di laut mati
walau angin menghembus pedih
riak pun tak tampak lagi
hanya darah yang berserak
membenam di kegelapan
buih mulai membentuk warna merah
bercumbu dengan bibir pantai
menyapa kegalauan hati
baju putih yang kukenakan terhempas buih
kristal di air mataku berubah merah
penuh riak kepedihan
datanglah peri memberi janji
menghapus buih merah penuh darah
dalam gemerlap gelombang lautan
kembaliku ke rumah kedukaan
kuharap ilusi

Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009


Jangan Galau
Silfa Humairah

Kucicip luka kemarin
Yang punya gemerlap di ruang gelap
Rumah tua tanpa taman
Tanpa bunga bersenandung riak
Jadi kisah berdarah
Sudahlah...
Bukannya hidup memang mencerna buih
Sesekali bercumbu masa lalu
Menapaki masa depan
Baju seragam bagi setiap manusia
Menyambut kristal kehidupan di puncak
Kau bukan peri yang harus selalu riang

Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009


Sayap-sayapnya
Intan HS

Entah berapa kali ia menukik
Atau kadang merosot terlalu jauh
Langkahku juga terasa di atas buih
Pada tanah yang terhentak sebelum mimpi habis
belum lagi selesai

Entah berapa kali ia hampir padam
Hilang terang dalam gemerlap bintang
Terasing di kala pagi masih bersembunyi
Sampai embun mengikis nadi

Riak yang ia gambar
Seiring awan berarak-arak
Telah mengendap
Tinggal retak

Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009


Darahku, Darahmu
Sukma

setelah darahmu aku cuci
pada benda hitam bernama tasbih
diantara sela-sela waktu
meski terus membulir dari sisik hatiku
mana lah bisa kusimpan semua itu
jujur, aku tak bisa melakukannya

mungkin karena terlalu sering
aku dicumbu angin
yang tiap sore kita singgahi
kulihat rambutmu bergerai pasrah

ya, sungguh aku tidak sanggup
mencuci darahmu dengan tasbihku

walau sudah tidak sekali dua kali
dalam satu baju ada kutemui
namamu, namanya
terkunci rapi bersemai mawar warna-warni

ahai,
bening matanya umpama kristal yang pecah
ketika darah itu semakin aku cuci
semakin aku tak mengerti

sementara lain kali
aku memandang alisnya yang beranak
itulah peri yang menari

maka, sepantas apa dia bersanding di hatiku ?
jawabnya, sepantas itu luka mengembalikan air mata
yang merah-merekah

setelah darahmu aku cuci
setelahnya lukaku terbit lagi

hanya lampu-lampu gemerlap
di bibir rumahmu
yang kerap menemani hampa
ruang kosong hatiku
cuma itu !

walau kutau
semakin aku tunggu wajahmu
semakin aku nanti wajahnya
tetap saja riak darahmu
riak darahku
sepertinya sudah pun membeku

Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009

Rabu, 08 Juli 2009

Kembali Pulang 2


Oleh : Sukma

Sepagi tadi, seisi rumah terlihat benar-benar diguyur panik. Adik perempuan saya yang biasanya berleha-leha di tempat tidurnya seketika bangkit dan melonjak saat membaca isi ponselnya yang berisi tentang kabar tak mengenakkan itu.

“Mak, aku baru dapat sms dari Wak Ipo. Bukde Lina sudah meninggal jam enam tadi !” Suara adikku memburu.

Innalillahi wa Inna Ilaihi Rajiun !! Sambil mengelus dada emak terdengar beberapa kali mengucapkan kata-kata itu.

Begitupun adikku yang lelaki, abangku_kala itu ia masih tidur_ juga si bapak yang tengah menyapu halaman terdengar sedikit gaduh. Mungkin terkejut. Pasalnya malam tadi, mak dan bapak menjenguk kabar derita bukde kami itu di rumah sakit berjarak tidak jauh dari rumah.

Dan jujur saja, saya yang pagi ini tengah asyik nongkrong_dalam renungan yang panjang_ di toilet, sepintas terganggu pula.

“Meninggal ? Sudah saatnya kah?” Kata saya dalam hati.

Namun, memang dari sekian orang-orang yang ada di dalam rumah hanya saya-lah yang terbilang cuek. Tidak gusar sedikit pun. Emak terlihat terus saja mengelap air matanya yang tak kunjung usai. Sesenggukan. Bapak mengambil handphone, bersihendak mengabari sanak famili nun jauh di kampung. Sama pula dengan adik dan abangku, sudah langsung mandi, berbusana dan berpeci kemudian menggilir pesan kematian itu ke tetangga-tetangga terdekat.

Mereka sibuk. Nyaris melupakan sarapan pagi saya, yang umumnya, sudah harus terhidang di meja makan. Adik saya yang perempuan juga bergegas. Menjemur pakaian, menyapu ruang depan hingga menyetrika jilbab yang hendak dipakai.

Lagi-lagi saya tetap mengacungkan tampang cuek. Saya malah asyik menyemir sepatu. Mengemasi buku-buku dalam tas kemudian menyalakan televisi.

Itulah !

Entah mengapa saya tidak merasa penting dengan berita kematian itu. Saya tidak merasa itu hal yang ajaib. Karena menurut saya mati dan hidup adalah hal biasa. Orang-orang menangisi jenazah yang sudah tiada adalah hal yang sudah umum. Lalu, apa yang hendak dihebohkan dengan kejadian itu ?

Saya juga merasa bahwa sanak famili yang jauh pasti sudah ada yang mengabari, bilal mayit, penggali kubur serta Wak Dullah, pemuka agama di desaku yang biasa mengumumkan berita kematian di Toa Mesjid, pun pasti sebentar lagi akan berkumandang menghalo-halokan perihal berita itu.

Maka sekali lagi, apa sebenarnya yang mesti saya repotkan ?

Sementara tetangga-tetangga, kaum ibu dan bapak, beberapa tampak pula anak muda mulai berduyun menuju rumah almarhumah bukde saya. Mereka berbusana begitu rapi. Ada juga yang bertampang necis. Jilbab penuh kemeriahan. Juga ada yang saya lihat seperti hendak pergi berhari raya saja. Rapi nian. Sungguh, kejadian pagi ini benar-benar mengherankan bagi saya.

Tak lama berselang, mak juga mulai berteriak-teriak, menyuruh adik saya yang perempuan untuk lekas menjerang air, menggoreng telur hingga bermata sapi untuk sarapan pagi ini. Si abang juga disuruh-suruh supaya lekas mengeluarkan sepeda motornya. Cuma saya yang tidak disuruh emak. Mungkin karena emak sungkan.
Karena sepagi itu pasti saya sudah berdandan rapi, kemeja licin, celana bersih dan sepatu mengkilap ialah tanda bahwa saya telah siap untuk menerjang rezeki. Biasanya, kalau pagi mulai tiba tabiat saya memang begitu. Lekas mandi, berseragam rapi, menyetel tivi seraya menunggu sarapan pagi.

Maka kalau sarapan pagi tak kunjung tiba selanjutnya saya akan pergi sendiri ke pajak pagi untuk membelinya disana. Egois !! Kata adik saya begitu.

Mungkin ada benarnya. Namun, saya memang tidak pernah merasa begitu. Hari-hari saya selalu membuat saya nyaris tidak punya banyak waktu bahkan sering kehilangan waktu. Bukan pada persoalan manajemen waktunya tapi lebih kepada aktifitas yang jumlahnya tidak sebanding. Kadang rencana seabreg yang saya miliki belakangan sering menjelma duri yang teramat tajam. Kadang pula ibarat gua yang menakutkan.

Maka, memikir hari-hari itu jauh lebih menakutkan bagi saya ketimbang mendengar berita kematian pagi ini. Mungkin memang saya tipikal orang yang tak sembarang berkawan, terlalu suka menghabiskan waktu di luar, tidak terlalu peduli ke sanak famili hingga membuat saya tidak merasa begitu dekat dengan mereka.

Tidak hanya itu, jauh sebelum-sebelumnya ketika banyak teman-teman SD saya yang sudah naik pelaminan kemudian mengundang saya pada resepsinya itu, saya justru sama sekali tidak berhasrat datang ke pesta itu, apalagi arisan-arisan keluarga, acara wiritan tetangga sampai peringatan hari-hari besar islam di mesjid ujung, pun jarang jua saya ikuti.

Saya sama sekali tidak mengerti. Kenapa saya bisa sebegini egois, sebegini cuek. Padahal dulu-dulunya tidaklah saya separah ini. Apa mungkin karena aktifitas kota tengah meleburkan saya pada kegiatan-kegiatan seperti ini ? Mungkinkah saya sudah terlalu jauh masuk ke dalam kehidupan modern yang membuat saya lupa dengan aktifitas tradisionil, tempat saya dulu dilahirkan ?
Apa juga karena saya terus digilakan dengan semua kecintaan pada hal yang sebenarnya justru (menjauhkan) saya dari nilai-nilai kehidupan ? Atau yang ekstrimnya, apakah saya sudah tidak lagi ingat perihal etika ketuhanan sebagai manusia yang punya hubungan horizontal ?

Oh.., saya benar-benar tidak mengerti !

Tampang-tampang sedih yang muncul pagi ini di rumah sebenarnya adalah simbol bahwa di rumah ini masih menganut jauh tentang apa yang disebut falsafah mati dan hidup. Hal yang kini terlalu sering saya khianati.

Alhasil ketika emak mengusung ide agar hari ini saya di rumah saja, tidak usah masuk kerja dan musti hadir diacara pemakaman almarhumah bukde saya itu, maka sesungguhnya itu permintaan yang teramat sulit bagi saya.

Namun sebagai seorang penulis justru kondisi ini menantang saya. Membuat saya harus mampu menciptakan alur cerita yang baru, adegan-adegan yang fantastis dan ending yang mutakhir dalam tiap cerpen yang kelak saya ciptakan. Hanya saja, yang paling payah saai ini, saya sendirilah tokoh utamanya.

Memang sesekali saya harus belajar mengorbankan semua rencana-rencana yang tadi malam tengah saya susun. Saya juga harus belajar bagaimana masuk dn mencitpakan sebuah cerita dengan dilatari adegan-adegan pemakaman yang nyata, yang itulah sebentar lagi akan saya kunjungi.

**

Benar dugaan saya !

Saat saya dalam suasana kematian yang hening itu, isak tangis kaum pentakziah pelan-pelan menjadi alunan keroncong tanpa nada begitu sepi, wajah-wajah lengang yang membatu, doa dan ayat-ayat yang diterbangkan, serta kain kafan, tempat pemandian dan keranda yang tengah dipersiapkan setidaknya menghipnotis saya untuk tidak bisa banyak bicara.

Saya benar-benar lupa dengan pekerjaan di kantor, saya sudah tidak ingat tentang janji dengan para peserta “workshop menulis” yang saya gelar beberapa hari lalu, saya sama sekali khusyuk dalam riuh aroma daun pandan dan kapur barus yang berkali-kali ditaburkan si bilal ke dalam tempayan tempat pemandian si mayit.

Tapi herannya, justru semakin saya khusyuk, semakin terasa bahwa dada saya berdenyut sesak. Tidak tau mengapa. Saya mencoba menukik ke dalam hati, benak dan emosi saya. Menemukan suatu yang membuat saya tidak habis pikir. Kenapa saya tidak kunjung sedih ? Kenapa saya tetap merasa ini biasa-biasa saja? Dan menangis, tetap saya rasakan sebagai sebuah ketololan saat itu.

Isak tangis terus menghilir dari pipi anak-anak alamarhumah bukde saya itu. Bahkan anaknya yang perempuan hingga siang itu saya hadir, tidak kunjung bangun dari pingsannya. Sementara saya tetap cuek-cuek saja. Tidak ada perasaan apapun !

Saya terus mencari dari kejadian hari ini yang bisa saya kutip pelajaran, ide, pemaknaan, pengetahuan dan rasa kemanusiaan untuk kemudian terjadi internalisasi dalam diri dan segenap tulisan-tulisan saya. Tapi, lagi-lagi saya tidak lihai menemukan itu.

Dalam keadaan yang cukup kikuk, saya masih saja sendirian. Berharap aliran cerita berubah wujud menjadi kisah yang bisa saya tulis sepulang nanti. Namun tetap saja saya terus dikepung bingung, bingung hendak melakukan apa.

Begitupun takut salah bicara. Apalagi memang tidak ada bahan pembicaraan yang bisa saya ungkapkan pada orang-orang di sekitar saya. Saya juga tidak mau terlihat sok sibuk, sok pura-pura membantu. Seperti mengangkat kursi-lah, membentang tenda, memasang kabel microphone atau mengatur parkir-lah. Karena saya tau, itu semua sudah dikerjakan.

Palingan, yang bisa saya lakukan waktu itu yakni mendekati Dian, anak almarhumah bukde saya yang paling besar. Wajahnya sangat kecut. Beberapa kali matanya terus melinangkan air. Sedu-sedannya jelas terlihat. Sebenarnya saya sangat ingin merangkul pundaknya seraya mengatakan, Sabar, ya ! Allah tau yang terbaik buat hambanya. Namun, kata-kata itu juga tidak berani saya ucapkan. Saya hanya diam saja.

Berselang kemudian, Dian beranjak. Kursi di sebelah saya kini kosong. Dari kejauhan bapak saya yang sedari pagi sudah berada di rumah duka ini kini duduk di bangku itu tepat di sebelah saya. Padah kalau bapak tidak mengarah ke bangku ini, saya sudah berniat ingin pulang saja.

“Kapan dikebumikan, Pak ?” Tanya saya

“Berharapnya sih sebelum zhuhur. Tapi sepertinya bakal dikebumikan setelah zhuhur juga,” jawab bapak saya sederhana. “Masih di sini kan sampai selesai ?” Tanya bapak saya kemudian.

“Kenapa, Pak ? Apa masih banyak yang harus dikerjakan ?”

“Bukan ! Tadi pakdemu cerita sama Bapak kalau di rumah ini anak-anaknya, termasuk si Dian tidak ada yang bisa menyolatkan bukdemu itu. Bapak rencananya nyuruh kamu. Bisa kan ? Jadi jangan pulang dulu, ya !” Kata bapak dengan suara pelan.

“Aduh !!”

Seketika saya terkejut bukan main. Tapi biarlah, kini sepertinya ide tulisan saya sudah ketemu.


Medan, 27 Mei 2009